MESKI secara formal aturan dan kelembagaan penegakan
hak asasi manusia (HAM)
di Indonesia mengalami kemajuan, praktiknya masih jauh
dari harapan
masyarakat. Buntunya penanganan hukum pada kasus-kasus
pelanggaran HAM berat
yang melibatkan aparat keamanan menjadi ukuran bagi
publik dalam menilai
kemajuan penegakan HAM.
KESIMPULAN itu terangkum dari jajak pendapat Kompas di
sepuluh kota di
Indonesia, 23-24 Juli, yang khusus mengevaluasi
pelaksanaan HAM di negeri
ini. Dalam jajak pendapat itu, mayoritas (82 persen)
responden mengungkap
ketidakpuasan atas kinerja pemerintah dalam menegakkan
HAM. Beberapa
pekerjaan rumah dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa
pemerintahan sebelumnya ternyata belum mengalami
kemajuan memadai.
Kasus yang menjadi sorotan publik adalah kerusuhan Mei
1998 serta penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti dan peristiwa Semanggi
Jakarta (1999). Dalam
menilai pengungkapan pelanggaran HAM, 84 persen
responden tidak puas atas
kinerja pemerintah.
Kasus pelanggaran HAM lain adalah yang bernuansa
separatis seperti di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Meskipun
beberapa kasus sudah
diputus di pengadilan, pengungkapan fakta keseluruhan
masih mendapat gugatan
publik. Tidak kurang dari 78 persen responden dalam
jajak pendapat ini
memprihatinkan lemahnya kinerja pemerintah dalam
menangani kasus ini.
Lemahnya penegakan HAM bahkan terjadi pada kasus
bernuansa politik seperti
peristiwa penyerbuan Kantor Pusat Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) pada 27
Juli 1996. Meskipun pelanggaran HAM terjadi dan secara
tak langsung menimpa
Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri waktu itu, kasus
ini belum masuk
pengadilan, padahal peristiwa itu sudah berumur tujuh
tahun. Tak heran bila
ketidakpercayaan publik juga menguat. Sebagian besar
(79 persen) responden
tidak puas atas penanganan kasus ini.
Deretan kasus-kasus yang belum tertangani inilah yang
membuat masyarakat
berpandangan pesimistis terhadap pemerintah.
Pemerintahan Megawati juga
dinilai tidak serius dalam penegakan HAM.
Pesimisme publik terhadap pemerintah ini jelas
merupakan indikasi kemunduran
kepercayaan. Indikasi ini terlihat dari persepsi saat
ini dibanding persepsi
hasil jajak pendapat Kompas awal tahun 2002 yang
mengungkapkan masih adanya
ruang kecil optimisme publik terhadap Presiden
Megawati.
Waktu itu, responden yang menilai pemerintah sudah
serius menangani
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih 46 persen, dan
41 persen menilai
tidak serius. Kini, mereka yang menilai tidak serius
meningkat menjadi 64
persen responden. Hanya 26 persen responden saja yang
kali ini menilai usaha
pemerintah sudah serius.
SEBENARNYA nilai-nilai HAM di negeri ini bukan barang
baru. Nilai-nilai
sudah muncul sejak tahun 1945, setelah disahkannya
Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Selanjutnya, peningkatan nilai-nilai HAM itu
dilembagakan secara
resmi, Komnas HAM, sudah muncul tahun 1993. Bahkan,
kini upaya sistematis
ditingkatkan dengan membentuk pengadilan khusus HAM
dengan UU No 26/ 2000.
Akan tetapi, seperti diduga, praktiknya tidak akan
berjalan mulus. Bukan
hanya pihak eksekutif yang menjadi keprihatinan
publik. Komnas HAM pun kini
juga mendapat sorotan.
Terbukti, penilaian miring terhadap lembaga ini juga
terungkap dalam jajak
pendapat kali ini. Tidak kurang dari 56 persen
responden menyatakan Komnas
HAM kini tidak lagi serius menangani pengungkapan
kasus-kasus HAM. Hanya 33
persen saja yang masih menilai lembaga ini bekerja
serius.
Ini tidak lain karena lembaga resmi negara yang
mengurusi HAM itu sudah
kehilangan kepercayaan. Hal ini dapat dilihat dari
gagalnya lembaga ini
dalam memanggil beberapa saksi kunci yang di antaranya
merupakan bekas
perwira TNI. Ini menunjukkan ternyata lembaga penegak
hukum masih terlalu
berat bila berurusan dengan anggota aparat keamanan.
Padahal, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar yang
menjadi terdakwa dalam
kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah dari anggota
TNI maupun kepolisian.
Selain Komnas HAM, pihak yudikatif pun tidak kalah
menjadi sorotan. Dalam
hal ini adalah hakim-hakim yang menangani kasus
pelanggaran HAM. Menurut
pandangan publik, pengadilan HAM pun dinilai belum
independen. Apalagi bila
kasusnya menyangkut anggota militer dan polisi. Dalam
jajak pendapat ini
juga terungkap, 77 persen responden menilai, para
hakim belum bebas dari
intervensi pihak lain. Kasus yang menjadi rujukan
publik adalah bebasnya
beberapa anggota TNI maupun Polri dalam pengadilan
kasus pelanggaran HAM
pascapenentuan pendapat di Timtim (1998).
Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, responden
pun mengeluhkan beragam
ketidakadilan dalam berbagai kasus lain. Berbagai
ketidakpuasan itu pada
akhirnya membuat masyarakat menjadi semakin kecewa
terhadap pelaksanaan HAM
di Indonesia.
Bila dalam jajak pendapat pada September 2001
responden yang menilai buruk
kondisi HAM di Indonesia sebesar 63 persen. Kini
proporsi responden yang
menilai buruk sudah menjadi 72 persen.
Harapan publik pada era reformasi yang begitu tinggi
pada kualitas
perlindungan HAM lima tahun silam, kini berujung pada
pesimisme. Bahkan,
pada pemerintahan Presiden Megawati ini yang akan
berakhir tahun depan pun,
publik sudah tidak percaya. Tidak kurang dari 70
persen responden tidak
yakin pemerintah dapat menuntaskan kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia.
Selasa, 22 Februari 2011
Kamis, 17 Februari 2011
contoh pelanggaran hak asasi manusiaPenggelapan Pajak
Penggelapan Pajak
Mencuatnya kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan ditengarai publik sebagai puncak gunung es dari permasalahan yang ada diperpajakan. Untuk mengurai itu, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mendukung usulan perlunya segera mengaudit kekayaan aparat Pajak.
Pendapat itu dikemukakan anggota Satgas Mas Ahmad Santosa usai bertemu Ketua MA Harifin Tumpa di Gedung MA, Jumat (26/03). “Saya setuju sekali itu dilakukan,” ujar Mas Achmad.
Usulan untuk mengaudit kekayaan aparat pajak ini dikemukakan oleh ekonom Dradjad Wibowo. Dia menyarankan agar ditjen pajak melakukan kontrol internal. “Lakukan kontrol internal dan audit kekayaan yang ketat pada pegawai-pegawai yang ada di 'tempat basah', termasuk perkembangan kekayaan sanak keluarganya,” ujar Dradjad.
Dalam pandangan Drajad, audit tersebut akan dapat menjawab kecurigaan publik tentang aset aparat Pajak yang diduga dari praktek yang tidak halal. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Kasus Gayus Tambunan adalah sebuah contoh. PNS golongan III A yang memiliki rumah mewah di Gading Park View dan apartemen di Cempaka Mas termasuk sejumlah mobil mewah.
Nama Gayus muncul setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji bersuara soal adanya makelar kasus pajak senilai Rp 25 miliar.
Publik jangan sampai memboikot pajak. Karena, membayar pajak kewajiban secara hukum. Pajak juga salah satu kontributor utama dalam pembiayaan program pemerintah. Jika terjadi pemboikotan, tentu akan berdampak pada anggaran negara, yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat.
”Kalau pemboikotan pajak terjadi, anggara negara terganggu. Lalu, yang jadi korban berbagai program sosial untuk rakyat banyak, seperti kesehatan, pendidikan dan berbagai program pembangunan secara umum,” kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan, di Jakarta, Senin (29/03).
Bara secara khusus menanggapi terbangunnya respon masyarakat atas kasus dugaan korupsi pajak oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, Gayus Tambunan. Ia melihat respon melalui jejaring sosial seperti facebook, perlu diapresiasi. Tetapi, ia menyayangkan, kalau gerakan yang muncul berupa pemboikotan pajak. ”Yang harus dibangun ajakan agar masyarakat turut mengawasi penyelesaian hukum kasus ini secara menyeluruh, termasuk mengkritisi pengawasan internal Ditjen Pajak,” katanya dalam rilis yang diterima redaksi, Senin. Menurut Bara, publik pantas kecewa atas skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, serta aparat hukum lainnya. Namun, kita harus memisahkan persolan antara pelanggaran hukum oleh aparat Ditjen Pajak dan kewajiban sebagai warga negara, yang berkonsekuensi hukum.
Dalam kasus Gayus Tambunan, menurut Bara, sebagai pembayar pajak, kita berhak dan memiliki posisi kuat untuk menuntut pemerintah agar mengambil tindakan segera. ”Kita meminta pemerintah melakukan investigasi secara komprehensif di samping juga memonitor jalannya investigasi itu.” Dengan demikian, menurut Bara, pembayar pajak sah meluapkan amarah, dan memberikan tekanan kepada pemerintah, agar kasus tersebut diselesaikan hingga tuntas. Ia berpendapat, publik juga perlu mendorong percepatan perbaikan pengawasan internal di institusi terkait, terutama Ditjen Pajak. Dengan begitu, uang yang dibayarkan para wajib pajak, tidak diselewengkan, seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
Mencuatnya kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan ditengarai publik sebagai puncak gunung es dari permasalahan yang ada diperpajakan. Untuk mengurai itu, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mendukung usulan perlunya segera mengaudit kekayaan aparat Pajak.
Pendapat itu dikemukakan anggota Satgas Mas Ahmad Santosa usai bertemu Ketua MA Harifin Tumpa di Gedung MA, Jumat (26/03). “Saya setuju sekali itu dilakukan,” ujar Mas Achmad.
Usulan untuk mengaudit kekayaan aparat pajak ini dikemukakan oleh ekonom Dradjad Wibowo. Dia menyarankan agar ditjen pajak melakukan kontrol internal. “Lakukan kontrol internal dan audit kekayaan yang ketat pada pegawai-pegawai yang ada di 'tempat basah', termasuk perkembangan kekayaan sanak keluarganya,” ujar Dradjad.
Dalam pandangan Drajad, audit tersebut akan dapat menjawab kecurigaan publik tentang aset aparat Pajak yang diduga dari praktek yang tidak halal. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Kasus Gayus Tambunan adalah sebuah contoh. PNS golongan III A yang memiliki rumah mewah di Gading Park View dan apartemen di Cempaka Mas termasuk sejumlah mobil mewah.
Nama Gayus muncul setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji bersuara soal adanya makelar kasus pajak senilai Rp 25 miliar.
Publik jangan sampai memboikot pajak. Karena, membayar pajak kewajiban secara hukum. Pajak juga salah satu kontributor utama dalam pembiayaan program pemerintah. Jika terjadi pemboikotan, tentu akan berdampak pada anggaran negara, yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat.
”Kalau pemboikotan pajak terjadi, anggara negara terganggu. Lalu, yang jadi korban berbagai program sosial untuk rakyat banyak, seperti kesehatan, pendidikan dan berbagai program pembangunan secara umum,” kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan, di Jakarta, Senin (29/03).
Bara secara khusus menanggapi terbangunnya respon masyarakat atas kasus dugaan korupsi pajak oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, Gayus Tambunan. Ia melihat respon melalui jejaring sosial seperti facebook, perlu diapresiasi. Tetapi, ia menyayangkan, kalau gerakan yang muncul berupa pemboikotan pajak. ”Yang harus dibangun ajakan agar masyarakat turut mengawasi penyelesaian hukum kasus ini secara menyeluruh, termasuk mengkritisi pengawasan internal Ditjen Pajak,” katanya dalam rilis yang diterima redaksi, Senin. Menurut Bara, publik pantas kecewa atas skandal pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, serta aparat hukum lainnya. Namun, kita harus memisahkan persolan antara pelanggaran hukum oleh aparat Ditjen Pajak dan kewajiban sebagai warga negara, yang berkonsekuensi hukum.
Dalam kasus Gayus Tambunan, menurut Bara, sebagai pembayar pajak, kita berhak dan memiliki posisi kuat untuk menuntut pemerintah agar mengambil tindakan segera. ”Kita meminta pemerintah melakukan investigasi secara komprehensif di samping juga memonitor jalannya investigasi itu.” Dengan demikian, menurut Bara, pembayar pajak sah meluapkan amarah, dan memberikan tekanan kepada pemerintah, agar kasus tersebut diselesaikan hingga tuntas. Ia berpendapat, publik juga perlu mendorong percepatan perbaikan pengawasan internal di institusi terkait, terutama Ditjen Pajak. Dengan begitu, uang yang dibayarkan para wajib pajak, tidak diselewengkan, seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
Langganan:
Postingan (Atom)