Selasa, 22 Februari 2011

Penegakan HAM Memprihatinkan

MESKI secara formal aturan dan kelembagaan penegakan
hak asasi manusia (HAM)
di Indonesia mengalami kemajuan, praktiknya masih jauh
dari harapan
masyarakat. Buntunya penanganan hukum pada kasus-kasus
pelanggaran HAM berat
yang melibatkan aparat keamanan menjadi ukuran bagi
publik dalam menilai
kemajuan penegakan HAM.

KESIMPULAN itu terangkum dari jajak pendapat Kompas di
sepuluh kota di
Indonesia, 23-24 Juli, yang khusus mengevaluasi
pelaksanaan HAM di negeri
ini. Dalam jajak pendapat itu, mayoritas (82 persen)
responden mengungkap
ketidakpuasan atas kinerja pemerintah dalam menegakkan
HAM. Beberapa
pekerjaan rumah dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa
pemerintahan sebelumnya ternyata belum mengalami
kemajuan memadai.

Kasus yang menjadi sorotan publik adalah kerusuhan Mei
1998 serta penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti dan peristiwa Semanggi
Jakarta (1999). Dalam
menilai pengungkapan pelanggaran HAM, 84 persen
responden tidak puas atas
kinerja pemerintah.

Kasus pelanggaran HAM lain adalah yang bernuansa
separatis seperti di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Meskipun
beberapa kasus sudah
diputus di pengadilan, pengungkapan fakta keseluruhan
masih mendapat gugatan
publik. Tidak kurang dari 78 persen responden dalam
jajak pendapat ini
memprihatinkan lemahnya kinerja pemerintah dalam
menangani kasus ini.

Lemahnya penegakan HAM bahkan terjadi pada kasus
bernuansa politik seperti
peristiwa penyerbuan Kantor Pusat Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) pada 27
Juli 1996. Meskipun pelanggaran HAM terjadi dan secara
tak langsung menimpa
Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri waktu itu, kasus
ini belum masuk
pengadilan, padahal peristiwa itu sudah berumur tujuh
tahun. Tak heran bila
ketidakpercayaan publik juga menguat. Sebagian besar
(79 persen) responden
tidak puas atas penanganan kasus ini.

Deretan kasus-kasus yang belum tertangani inilah yang
membuat masyarakat
berpandangan pesimistis terhadap pemerintah.
Pemerintahan Megawati juga
dinilai tidak serius dalam penegakan HAM.

Pesimisme publik terhadap pemerintah ini jelas
merupakan indikasi kemunduran
kepercayaan. Indikasi ini terlihat dari persepsi saat
ini dibanding persepsi
hasil jajak pendapat Kompas awal tahun 2002 yang
mengungkapkan masih adanya
ruang kecil optimisme publik terhadap Presiden
Megawati.

Waktu itu, responden yang menilai pemerintah sudah
serius menangani
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih 46 persen, dan
41 persen menilai
tidak serius. Kini, mereka yang menilai tidak serius
meningkat menjadi 64
persen responden. Hanya 26 persen responden saja yang
kali ini menilai usaha
pemerintah sudah serius.

SEBENARNYA nilai-nilai HAM di negeri ini bukan barang
baru. Nilai-nilai
sudah muncul sejak tahun 1945, setelah disahkannya
Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Selanjutnya, peningkatan nilai-nilai HAM itu
dilembagakan secara
resmi, Komnas HAM, sudah muncul tahun 1993. Bahkan,
kini upaya sistematis
ditingkatkan dengan membentuk pengadilan khusus HAM
dengan UU No 26/ 2000.

Akan tetapi, seperti diduga, praktiknya tidak akan
berjalan mulus. Bukan
hanya pihak eksekutif yang menjadi keprihatinan
publik. Komnas HAM pun kini
juga mendapat sorotan.

Terbukti, penilaian miring terhadap lembaga ini juga
terungkap dalam jajak
pendapat kali ini. Tidak kurang dari 56 persen
responden menyatakan Komnas
HAM kini tidak lagi serius menangani pengungkapan
kasus-kasus HAM. Hanya 33
persen saja yang masih menilai lembaga ini bekerja
serius.

Ini tidak lain karena lembaga resmi negara yang
mengurusi HAM itu sudah
kehilangan kepercayaan. Hal ini dapat dilihat dari
gagalnya lembaga ini
dalam memanggil beberapa saksi kunci yang di antaranya
merupakan bekas
perwira TNI. Ini menunjukkan ternyata lembaga penegak
hukum masih terlalu
berat bila berurusan dengan anggota aparat keamanan.

Padahal, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar yang
menjadi terdakwa dalam
kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah dari anggota
TNI maupun kepolisian.

Selain Komnas HAM, pihak yudikatif pun tidak kalah
menjadi sorotan. Dalam
hal ini adalah hakim-hakim yang menangani kasus
pelanggaran HAM. Menurut
pandangan publik, pengadilan HAM pun dinilai belum
independen. Apalagi bila
kasusnya menyangkut anggota militer dan polisi. Dalam
jajak pendapat ini
juga terungkap, 77 persen responden menilai, para
hakim belum bebas dari
intervensi pihak lain. Kasus yang menjadi rujukan
publik adalah bebasnya
beberapa anggota TNI maupun Polri dalam pengadilan
kasus pelanggaran HAM
pascapenentuan pendapat di Timtim (1998).

Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, responden
pun mengeluhkan beragam
ketidakadilan dalam berbagai kasus lain. Berbagai
ketidakpuasan itu pada
akhirnya membuat masyarakat menjadi semakin kecewa
terhadap pelaksanaan HAM
di Indonesia.

Bila dalam jajak pendapat pada September 2001
responden yang menilai buruk
kondisi HAM di Indonesia sebesar 63 persen. Kini
proporsi responden yang
menilai buruk sudah menjadi 72 persen.

Harapan publik pada era reformasi yang begitu tinggi
pada kualitas
perlindungan HAM lima tahun silam, kini berujung pada
pesimisme. Bahkan,
pada pemerintahan Presiden Megawati ini yang akan
berakhir tahun depan pun,
publik sudah tidak percaya. Tidak kurang dari 70
persen responden tidak
yakin pemerintah dapat menuntaskan kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar